Beberapa hari aku vakum menulis. Ide tentang hal apa yang akan kutuliskan rasa-rasanya sulit sekali muncul di kepala. Ya, memang pada dasarnya ideku berkutat itu-itu saja, tidak ada sesuatu yang wow atau apa. Tetapi setelah akhir-akhir ini memutuskan untuk menuliskan produk kejujuranku berupa ‘rasa’, setiap apapun yang hadir dan cukup ‘mengganggu’ memudahkanku untuk menentukan topik.
Aku merasa terluka entah karena apa. Ada sesuatu yang menganga. Ada bagian dari diriku yang tak utuh. Sempat ku mencari, jauh ke belakang, tetapi sungguh aku menemukan hal-hal baik, dan sudah kutuliskan. Kupikir bukan dari situ ku pendapatkan luka. Atau malah, bisa jadi tak ada luka. Lalu karena apa?
Sejenak aku berjeda. Aku perlu fokus kepada hal-hal yang sudah kulalui, kumiliki. Aku perlu mencermati dengan jeli, berbagai sisi. Yang perlu kulakukan adalah menerima sepenuhnya dan mencintai diri ini–ya, keinginan menggebu untuk menjadi lebih baik terkadang membuatku lalai mencintai diri sendiri. Sering aku lupa menghargai, mengapresiasi, atau memberi hadiah bagi diriku. Tak jarang juga orang lain lebih berarti: ini sungguh hal yang benar dan aku tak pernah menyesalinya. Masalahnya adalah, bersamaan dengan itu aku lupa memberi nutrisi bagi diri, sehingga saatnya tiba, aku luruh dan merasa tidak bisa memberi lebih banyak. Mungkin, inilah yang membuat kehampaan itu semakin terasa.
Aku adalah ciptaanNya yang sempurna dengan segala kecacatan yang kupunya. Aku cintai diriku dengan tulus, sebagai sebuah proses kesyukuran atas hadiah-hadiah pemberianNya. Aku masih harus berjalan, entah jauh atau dekat sisa jalan yang harus kulalui, aku harus terus menyiapkan bekal dan merawat ‘diri’ sebaik-baiknya.
Hai diri, baik-baik ya. Apapun yang kau butuhkan untuk terus baik-baik saja, katakan padaku. Karena tugasmu masih banyak, belum selesai.
#day14 #writingishealing