Perkenalan Tokoh
Taqiyya Fathin Ulaiya (Taqiyya/Taq)
Namanya Taqiyya, usianya 11 tahun. Merupakan tokoh utama dalam cerita ini. Orangnya supel, aktif, dan periang. Sayangnya dia suka usil dan seringkali lupa bahwa dirinya perempuan. Mudahnya, dia itu laki-laki banget. Bahkan hobiiiii banget nonton film-film Shounen, contohnya BoBoiBoy atau Yowamushi Pedal. Meski jahil dan tomboy, dia amat suka pelajaran sejarah, terutama sejarah-sejarah yang berhubungan dengan adanya DIY, contohnya sejarah Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I), Pangeran Diponegoro, dan lain-lain. Oh iya, dia juga agak nggak jelas. Kulitnya berwarna sawo matang alias cokelat muda. Warna favoritnya cokelat dan hitam.
FYI, dia benciiiiiiiiiiiiiiiiiiii banget sama yang namanya warna pink. Sayangnya, warna pink suka sama dia. Buktinya, di event Summer Fic, dia masuk dalam Cabin Pink. Malang sekali bukan?
Ibrahim Akif Faqihuddin (Akif/Mas Bro)
Namanya Akif, 8 tahun. Adik pertama Taqiyya, anak kedua di keluarganya. Sifatnya agak aneh, karena kadang-kadang dia pemalu, tapi kadang-kadang cuma dengan pengalaman satu tenda barengan sudah berani bilang Rafi ‘nggak waras’.
Eh iya, dia juga agak ngambekan. Sama kayak kakaknya, dia juga usil. Hobinya bersepeda dan nonton BoBoiBoy. Kulitnya termasuk ‘putih’ di antara saudara-saudaranya. Dia suka dengan warna biru dan merah. Meski begitu, MERAH PUTIH SELALU NOMOR SATUUUUU!!!!!!!
Muhammad Nabil Ar-Rosyad (Nabil/Bil)
Namanya Nabil, 11 tahun. Besprenan sama Taqiyya sejak bayi. Bahkan sejak belum lahir lho :v Orangnya USIL banget. Ayo lihat apa kata Akif tentang dia; “Kak Nabil kan hebat? Maksudku, hebat dalam ngusilin aku!”
Dia juga gajenya kelewatan. Pernah ngusulin biar Rafi guling-guling di jurang aja. Lalu dijawab Rafi dengan nggak kalah gajenya; “Bisa sih iya, tapi aku nggak mau. Amalku belum cukup banyak, aku belum mau mati.”. Saia hanya dapat terngukuk mengingat kekonyolan mereka berdua đ
Kulitnya putih, rambutnya keriting. Agak pendek, makanya sering dikira adiknya Taqiyya. Padahal lebih tua 5 bulan lho~ Warna favoritnya… Aduh, sori, aku lupa!
Readers be like: Tadi kayaknya ada yang ngomong sahabatan sama Nabil *melototin Author*
Author (Taqiyya): Ya maap :v
Achmad Jamaluddin Rafi (Rafi/Fi)
Namanya Rafi, 13 tahun. Udah SMP sebenernya, tapi gara-gara pendek jadilah dia nggak dikasih embel-embel “Mas”. Orangnya kalem, tapi kalau udah akrab dia periang banget. Bukan periang sih tepatnya. Dia tetap pakai muka datar andalannya, tapi omongannya auto bikin yang lain ketawa. Nabil yang sering ngakak-ngikik-ngukuk gara-gara dia.
Dia orang PALING gaje diantara empat makhluk absurd ciptaan Allah yang berkuping dua yang menjadi tokoh utama di cerita ini. Nggak percaya? Kalau gitu, kalian mesti tahu siapakah orang yang waktu duluuuuuuuu banget diajak ke gua malah ngajak main buaya-buayaan. Oke deh, nggak usah dulu-dulu amat. Waktu tracking bersama Om Supri, dia malah aneh-aneh dengan cara gelindingan di jalan. Astaghfirullah, Nabil aja paling ‘cuma’ tiduran di aspal. Lha dia? Guling-guling di aspal. Orang yang lihat cuma bisa masang poker face ngelihatnya đ
Prolog: Sampai
“Pffftâ Coba kalian lihat ke belakang!”
“Ha?” Mendengar ucapan sahabat masa kecilnya, Nabil menengok padaku. Kemudian dia menoleh ke belakang. “Pffftâ BWAHAHAHAHA!”
“Kenapa sih Kak?” Tanya Akif yang kebingungan oleh kedua kakaknya itu. Yang satu kakak kandung, satunya lagi kakak pungut. Ups!
“Ga papa, cumaâ”
“GUNUNG BEGO!”
Sontak aku meninju Nabil pelan. Ngasih tahu sih, boleh aja ya! Tapi juga jangan teriak-teriak gitu!, seperti itulah kira-kira maksud tatapan tajam menusuk tulangku. Nabil hanya meringis pelan. Entahlah, antara meringis karena kesakitan atau meringis karena ingin tertawa. “Sori, Taq. Tapi kan namanya memang Gunung Bego?!”
“YANG PENTING NGOMONGNYA GA USAH SAMPAI TERIAK-TERIAK JUGA, KOCAAAAAAAAAAAK!” Bentakku, namun terhenti karena tatapan tajam ibunda tercinta. Nabil terkikik, seolah berkata, Mampus lu Taq! Salah sendiri bentak-bentak orang!
Untungnya, tampaknya Ibuk tidak tertarik untuk menindak lanjuti masalah tersebut. Ia hanya lanjut mengobrol dengan ibunya Nabil, Ammah Qonita. Mereka sedang membahas masalah-masalah yang tak kumengerti.
Karena Ibuk sudah lanjut mengobrol, aku dan dua anggota “Trio Usil” generasi kedua pun lanjut saling bercanda.
***
“Akhirnya sampai juga~” Kataku, merenggangkan badan. Sungguh perjalanan yang melelahkan. Untung Ayah tidak ikut, kalau bisa aku dan yang lain akan dibuat pusing olah “Perseroan Terbatas Terbesar, VOC”, “Keruntuhan Portugis yang Sepele”, “Spanyol yang Mengembangkan Dirinya Sendiri dengan Cara Khianat”, “Belanda, Kerajaan yang Hukum dengan Kerajaannya Terpisah”, dan sebagainya. Haduh, bisa-bisa puyeng nanti!
“Kita turun duluan ya, Ummi, Ammah Iing!” Kata Nabil. Sebelum selesai pamit, kami bertiga sudah turun sambal berhaha-hihi riang. Seperti biasa, obrolan kami lagi-lagi hanya berisi candaan.
“Boleh, tapi nanti bantuin Ammah Iing bawa barang-barang turun ya!” Pinta Ibuk. Kami hanya mengangguk asal-asalan saja, tak sadar soal “bawa-barang-barang-turun”. Andai kami sadar, pasti kami sedang protes saat ini.
“Ikuuuuuuut~!” Ujar keempat adik-adik kami, yakni Miya, Queen, G(i)ya, dan Azda. Mereka semua langsung ngacir mengikuti kami. Bahkan belum sempat izin ke “Duo Ibuk-Ibuk”.
“Oke!”
Bab 1: Cantik
“Huaaaah~ Akhirnya sampai juga!” Ujarku sembari meregangkan badan. Huft… Capek juga duduk terus di mobil. Apalagi ditambah tadi aku ketawa-ketiwi sepanjang perjalanan. Tolong dipahami ya, ketawa itu bikin capek! Tapi aku suka sih…
“Yang mana tempat kemah kita?” Seru Nabil bersemangat, menoleh kesana-kemari. Mencari ‘tenda glamping kelas dua’ yang sudah kami booking sebagai ‘ours‘.
“Itu, masih lurus!” Ammah Nita tiba-tiba muncul, membuatku mengurut dada karena kaget. “Tapi masih untung kita tenda kelas dua, kalau tenda kelas satu lebih jauh.”
Untung sih untung kalau versi jarak. Tapi soal fasilitas, untungnya di mana?! >:v
***
“Waaah, keren banget viewnya cuy!” Nabil mulai berpose, tentu dia akan mulai selfie-selfie. Memang, bisa dibilang ini salah satu keunggulan kompleks tenda kelas dua. Konon katanya, kompleks kelas dua memiliki pemandangan yang lebih keren dibandingkan kompleks kelas satu. Aneh kan? Tapi aku sih manut-manut aja. Toh, aku kan bukan pemilik tempat wisata ini? Atas dasar apa aku mementingkan masalah itu?
“Ihh, si Nabil udah mulai foto-foto! Kabur yuk ‘Kif!” Selorohku. Akif hanya memasang cengiran ala kuda.
Tahu kenapa aku bersikap begitu? Karena aku dan Akif sangat anti dalam acara foto-foto.
Perlu kuulangi?
Aku dan Akif SANGAT ANTI dalam acara foto-foto. Well, dengar kata ‘anti’ membuatku teringat dengan nama kucing peliharaan Tante Titi, Anti -_-
“‘Bil, lihat hasil fotonya dong! Plisssss~” Kataku sambil memasang ekspresi ‘OwO’. Nabil hanya mengangguk sebagai jawabannya.
Ada beberapa foto. Ada foto di mana dia memasang muka ‘monyet’ andalannyaâyang kemudian fotonya cepat-cepat dia hapusâjuga ada foto saat dia menatap matahari tenggelam. Hm? Itu beneran selfie? Kok kelihatannya kaya’ difoto orang lain ya? Yah… Co-Mentor kelas Photography Shutterstock emang beda.
Nabil terus menunjukkan hasil selfienya, hingga akhirnya…
“Stop, stop! Aaah, foto yang tadi!”
“He? Kenapa ‘Taq?” Nabil bertanya sambil mencari foto yang membuatku tertarik tadi. “Foto yang mana? Yang ini? Atau yang ini? Atau yang sebelumnya? Yang mana sih?”
Tak sabaran, aku langsung merebut HP Nabil. Aku segera mencarinya, dan… Voila! Ketemu dalam lima detik!
Kok dari tadi Nabil nyariin nggak ketemu-ketemu ya?
“Ini… Lihat!” Aku menunjukkan foto yang kumaksud pada Nabil. Dia melihatnya sekilas. Itu fotonya ketika menggunakan hoodie. “Kamu… Cantik!”
“Kamu… Cantik!”
“… Cantik!”
“Cantik!”
“Cantik!”
“Cantik!”
“Cantik!”
“Cantik!”
“Cantik!”
“Cantik!”
“Cantik!”
“Cantik!”
“Cantik!”
“Huwaaaa! AKU NGGAK CANTIK, AKU LAKI-LAKI!”
Aku dan Akif segera bertoss. Entahlah, tapi kalau aku berhasil menjahili orang, pasti hawanya mau bertoss dengan adek lelakiku satu-satunya itu.
“Kamu emang cantik weeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeek!”
Dan sore itu, drama Tom and Jerry pun dimulai.
Bab 2: Beban
“Mwahahaha… Kamu emang cantik, ‘Bil! Ngaku aja~” Aku terbahak-bahak melihat wajah Nabil yang memerah setengah-malu setengah-kesal. Untung saja dia tidak menggunakan jurus ‘ngambek’nya. Hadeh, aku memang lemah banget kalau lawan jurus ngambek astaga -_-
“ENGGAK! Aku laki-laki!”
“Tapi Kak Nabil kan cantik… Aku mengakui lho!” Akif mulai ikut mencandai Nabil. Aku terbahak senang saat dibela Akif. Nabil sudah… SKAK MAT!
“Gak, GAK! AKUâ!” Bentakan Nabil terpotong karena teriakan Ibuk.
“Ayo… Jadi mau bantu angkatin barang nggak?”
Jelas bukan pertanyaan. Ini mah, pernyataan.
“Aaah, oke!” Aku segera menghentikan ekspresi jahilku. Sayang sekali, aku baru sempat memasang wajah usilku itu beberapa detik. Padahal itu ekspresi favoritku :v
Akif dan Nabil sama-sama paham bahwa kata ‘oke’ berarti ‘lomba lari’. Kami langsung mengambil ancang-ancang. Satu, dua…
“… TIGA! RUN!”
Nabil melesat cepat, mengambil posisi pertama. Aku segera menyamainya. Dengan cengiran yang berarti;
Cuma secepat ini?
Nabil sempat menjulurkan lidahnya terlebih dahulu sebelum kembali merebut tempat terdepan.
***
“Be. Rat!” Keluhku. Menggendong dua tas ditambah sebuah tas jinjing berisi makanan tentu membuatku keberatan. “Kenapa harus bawa sebanyak ini sih?!”
“‘Ntah?” Sahut Nabil. “Mau tukeran?”
“Nggak mau!” Kataku, menatap horor ke barang-barang yang dibawa Nabil. Ada tas miliknya, tas adiknya, tas adikku, dan…
Sebuah karung berisi peralatan masak.
“Makanya, jangan ngeluh dong! Ini aku ngangkatnya sampai sesak napas lho!” Oceh Nabil. Aku hanya mengangguk, masih membayangkan betapa beratnya itu. “Eh?”
Beruntung bagi Nabil, ada sesosok malaikat penolong yang mengangkat dua tas yang awalnya dipikul Nabil.
“Kubantu ya~” Ucap Irbath sambil tersenyum manis. Aku melongo. Sejak kapan dia di situ?
“Eeh? Oh, okeâ Makasih!” Nabil berujar senang. Karena Irbath membantunya, dia jadi bisa berjalan lebih cepatâmeskipun dia tetap masih memikul tas miliknya dan karung. “Hwaaah, makasih ya Irbath! Jadi lebih ringan!”
“Sama-sama!”
Sementara aku hanya cemberut melihat kelakuan Nabil dan adik satu-satunya Rafi itu. Kenapa cuma Nabil sih yang ditolong?!
***
Akhirnya kami sampai kembali di kompleks perkemahan kelas dua.
“Haaaah, capek aku!” Aku kembali meregangkan badan. “BTW, Irbath, Pak Nur, Ammah Nila, Mas Ribat, dan Rafi di mana?”
“Hah? ‘Tu…” Irbath menunjuk ke arah gerbang masuk kompleks perkemahan kelas dua. Aku hanya bisa melihatnya dengan tatapan melek.
Mereka… Bawa teropong?
Bab 3: Bulan
“Waw, ‘Fi, kamu bawa teropong buat apa?” Nabil bertanya antusias.
“Jelas buat lihat langit lah! Soalnya kayaknya malam ini bakal cukup cerah. Jadi kami bawa aja deh,” jawabnya santai. “‘Mi! Ini taruh di mana?”
“Di dalam tenda!”
“Tenda kita mana ‘Bil?” Tanya Rafi pada Nabil. Dengan tatapan curiga, dia menanmbahkan, “Udah dipilih kan?”
“Dah. Sini!” Nabil dengan sok senior menunjukkan arah menuju tenda mereka. Akif ikut mengikuti keduanya, kepo.
Sementara mereka menuju tenda laki-laki, aku, Miya, Queen, dan Azda mulai menata tenda kami.
***
“Mbak Taqiyya, itu yang laki-laki pada tolong dipanggilin ya. Bilangin diminta bikin api unggun. Biasanya Irbath sih suka disuruh begituan.” Pinta Ammah Nila yang kini sedang sibuk menata-nata karpet. Ada tiga karpet yang digelar; dua karpet memanjang berwarna krem, dan satu karpet persegi cokelat yang bermotif bunga-bunga.
“Oke Ammah!” Aku bergegas melompat dan berlari menuju tenda laki-laki, tenda paling bawah. Bersyukur karena aku menggunakan sandal gunung, jadi nggak licin.
“Tok tok tok!” Aku membuat suara mengetuk pintu. “Assalamu’alaikum wahai para penghuni tenda!”
“Wa’alaikum salam… Apa ‘Taq…?” Nabil bertanya, mengeluarkan kepala dari dalam tenda. Kalau didengar dari nada malasnya, sepertinya mereka sedang mabar Mobile Legend atau Free Fire. Kalau bukan mabar ya paling lagi nobar video tahan tawa di Kelapa Seru (baca: Coco Fun). Tapi tak menutup kemungkinan bahwa mereka sedang memainkan game Brain Out, game untuk mengasah kemampuan otak.
“Pada diminta bikin api tuh sama Ammah Nila!” Jawabku singkat, padat, jelas, dan terpercaya (?). “Ayoooo!”
“Hah? Bikin api? Mau, mau!” Sahut Akif yang ‘datang tak dijemput, pulang tak diantar’. “Irbath! Ayo, ayo!”
***
“Yeay! Apinya nyala!” Seruku girang. Akhirnya, setelah setengah jam berkutat demi menyalakan api, kami berhasil menyalakan api tersebut hanya bermodalkan ‘kulit’ pohon kayu putih. “Tapi… Kita jahat banget ya? Menguliti hidup-hidup si pohon kayu putih?”
“‘Taq! Bahasamu itu lho…” Tegur Nabil. Aku hanya mengedikkan bahu tanda tak peduli.
“Bodo amat awokawokawok. Tapi aku pengen main Werewolf lagi.” Keluhku. “Masih inget yang pas Akif ngomong, “Lha, Kakak kok buka mata?!”?”
“Itu kan karena aku nggak tahu kalau Kakak werewolfnya? Kukira Kakak ngintip. Yaudah kuomongin.” Akif membela diri sambil menjulurkan lidah.
“Yah, paling nggak aku nggak di gantung sih. Aktingku bagus kali ya?” Ujarku.
“Tapi…” Nabil sengaja memotong perkataannya, membuatku dan Akif menoleh penasaran. “Sekali lagi kau makan aku, ‘Taq, nyesel aku kenal kamu! Bayangkan, kamu aja nggigit aku tiga kali.”
“Hahaha, sori, sori. Aku masih merasa wow loh. Mana aku tahu kalau kamu itu ‘Manusia Tangguh’? BTW, aku cuma nggigit dua kali kok. Ohya, tapi kalau kamu juga jadi werewolf, masih bakalan nyesel?” Aku bertanya.
“Hm… Ya enggak sih… Semoga aja aku jadi werewolf.” Nabil berharap-harap cemas.
“BTW, kayaknya sosis bakarnya dah jadi tuh! Makan yuk!” Ajakku.
***
“Ada apa sih ‘Fi?” Tanyaku penasaran. Baru saja dia bersorak kegirangan, membuat acara makan-makan dan ‘menirukan-Bu-Tedjo’ berhenti.
“Berhasil dapat bulan!” Jawabnya singkat. Benar-benar singkat, tiga kata.
“Yaudah bawa pulang aja bulannya.” Timbrung Nabil asal-asalan. Dan dia mendapat hadiah jitakan dariku. “Aww!”
“Lihat dong, Mas Rafi!” Pinta Akif. Rafi mengangguk, mempersilakan Akif.
“Aku juga!” Nabil mengantre setelah Akif.
“Aku habis Nabil.” Aku ikutan mengantre. Setelah Nabil puas menengok bulan, aku segera menunduk, melihat lensa teropong. Hanya sekejap, namun aku sempat memperhatikan kawah-kawah bulan.
Indah.
– To Be Continued –